Relawan : Sebuah Jalan Panjang Tak Berujung

Menjadi relawan adalah anugerah, karena tidak semua orang bisa memilikinya. Demikian kata salah satu kolega beberapa bulan lalu saat saya menyambangi di kota dimana dia bergerak. Itu merupakan jawaban jika ada orang yang selalu bertanya, kenapa sih saya menjadi relawan, dan mengapa harus bangga.

Saya cukup ingat saat destika 2014 di Majalengka, serombongan pemuda dari pacitan di panggil ke atas panggung festival oleh Fajar Eri dan langsung dikukuhkan menjadi relawan TIK Pacitan. Sebelum ada acara pengukuhan dadakan itu, sebetulnya adalah acara ajangsana. Hanya untuk acara ngobrol darimana dan ngapain aja di daerahnya. Saat salah satu dari mereka, bernama Septian, maju . Dia hanya cerita bahwa mereka berangkat ke Majalengka hanya berbekal informasi ada pertemuan para pegiat desa. Mereka mengaku para relawan yang masuk ke desa-desa untuk melakukan pendampingan pemanfaatan TIK. Tapi menariknya mereka mengaku melakukannya karena mereka ingin desa-desa di Pacitan bisa mandiri dan mampu menolong dirinya sendiri dengan memanfaatkan TIK. Kawan dari pacitan tersebut pun menceritakan bahwa melakukan pendampingan secara swadaya ini kerap kesulitan, karena dianggap LSM liar. Sehingga tidak sedikit aparat desa yang menolak kehadirannya karena legalitas mereka. Dan serta merta, tidak menunggu waktu lama saat itu juga, Fajar Eri langsung melakukan pengukuhan Relawan TIK cabang Pacitan.

Selain persoalan penolakan, melakukan kerja sukarelawan pada saat itu adalah minimnya dukungan. Tidak sedikit pegiat sosial atau sukarelawan saat itu ditolak ataupun tidak di akui oleh pemerintah daerah karena persoalan legal formal dan nomenklatur OPD yang bisa dikoordinasikan. Sehingga tidak sedikit anggota relawan memilih bekerja dan berkarya dengan tanpa harus melakukan kerjasama dengan pemerintah daerah. Berkegiatan secara mandiri, karena rasa keterpanggilan melakukan edukasi kepada masyarakat untuk membangun eksosistem yang baik.

Melakukan kegiatan secara mandiri pun, bukan sesuatu yang mudah. Saya ingat betul bagaimana bertahun-tahun melakukan kegiatan kerelawanan secara mandiri, itu merupakan sesuatu yang sangat berat. Kita harus memikirkan logistik gerakan agar rencana kegiatan atau pendampingan dapat berjalan sesuai dengan jalurnya. Kami termasuk yang sangat beruntung karena tidak sedikit bantuan hadir dalam bentuk kerja kolaborasi, diantaranya perguruan tinggi, sekolah, dan institusi nasional seperti PANDI, ICT Watch dan Kementerian. Bantuan yang hadir bukan tiba-tiba saja ada, tapi harus melalui pembuktian dan kerja keras yang kami sebut modal sosial.

Modal sosial inilah yang akhirnya membangun kredibilitas para relawan. Menaikan posisi tawar yang membuat keyakinan para pengambil kebijakan di daerah mau melakukan kegiatan kolaborasi. Pemerintah daerah, Dewan Pendidikan, Kepolisian Resort, KPUD, Dewan Koperasi Indonesia, Dewan TIK Daerah dan banyak institusi di daerah akhirnya menjadi mitra para relawan dalam upaya memberikan kesadaran pemanfaatan TIK yang aman, sehat dan baik bagi masyarakat.

Banyak issue yang bisa dikolaborasikan, dari internet sehat untuk dunia pendidikan, pemanfaatan TIK daerah perdesaan dan komunitas, ancaman hoax, penguatan UMKM di era industri 4.0 dan lainnya. Dan para relawan pun tidak sedikit yang bermetaforfosis. Membangun spesialisasinya sendiri. Ada yang hanya konsentrasi di pemberdayaan ekonomi, ada yang hanya di desa, ada di dunia pendidikan, keamanan berinternet dan banyak lagi. Sehingga satu organisasi relawan di tingkat kota atau kabupaten bisa memberikan banyak layanan yang dapat di pilih bagi para penerima manfaat.

Di Madiun sendiri, modal sumberdaya berupa anggota relawananya terdiri dari banyak profesi, dari akademisi, mahasiswa, guru, arsitek, teknisi, pegiat literasi, pegiat desa, wartawan hingga penjaga sekolah. Yang menjadikan relawan didaerah bisa membuat kerja tim sesuai dengan kemampuannya. Ada yang memikirkan konsep, ada yang menjadi organisator atau pelaksana dan ada yang mengambil porsi untuk urusan teknis. Sehingga pelayanan dilakukan bukan karena satu dua orang saja yang ingin tampil di muka umum. Tapi menjadi satu kesatuan kerja giat kerelawanan.

Dan dari sekian jauh perjalan yang dilakukan para relawan ini, yang menjadi pekerjaan rumah terberat ada dua, yakni menjaga ruh kerelawanan dan regenerasi kinerja. Mengapa ruh kerelawanan malah menjadi hal yang harus serius dipikirkan ? karena relawan saat ini mungkin tidak sedikit yang belum memahami mengapa kita menjadi relawan. Saat tawaran kolaborasi mulai banyak ditawarkan pihak ekternal, tidak sedikit relawan mulai pilih-pilih melakukan pelayanan. Mengutamakan yang ada biaya operasionalnya dan menghilang untuk kegiatan yang tidak ada logistiknya. Padahal seharusnya kegiatan yang ada biaya operasionalnya itu harusnya mensubsidi kegiatan yang tidak ada logistiknya. Seharusnya kegiatan-kegiatan kolaborasi ini bisa menjadi sarana regenarsi untuk mempelajari materi issue dan metode pelaksanaan kegiatan. Agar kerelawanan tetap berjalan di rel yang semestinya, untuk berkhidmat bagi Indonesia.

Pada 18 Januari 2015, Rudiantara yang menjabat sebagai Menkominfo pada waktu itu, saat sambutan penutupan Pelatihan Khusus pendamping Prakarsa Desa di Balai Pelatihan dan Riset TIK di Ciputat pernah berkata, “ menjadi relawan itu hanya punya dua modal dasar, namun itu ruh sesungguhnya menjadi seorang relawan yakni Give and Pleasure. Saat kita memberi itulah kita bahagia. “ Benar kata Rudiantara, Menjadi relawan, spirit yang harus dibangun adalah prinsip dan idealismenya memberi. Bukan meminta. Memberi secara tulus tanpa ada motivasi agenda tersembunyi. Para relawan memang harus berkaca pada sukarelawan kebencanaan yang tidak harus dikenal publik, harus melihat ada atau tidaknya logistik.

Dalam hati dan jiwa para sukarelawan kebencanaan itu adalah rasa keterpanggilan untuk menguatkan perikemanusiaan. Dan bila kita meniru para sukarelawan tanpa seragam itu, seharusnya kita tidak lagi memikirkan lagi sekat perbedaan. Karena andai mata kita benar-benar terbuka, banyak sekali bencana sosial yang mengancam masyarakat bila tidak segera melakukan penyelamatan dalam bentuk edukasi dan pendampingan. Seharusnya kerja kolaborasi lebih diarahkan kepada bagaimana membangun ekosistem literasi yang aman, baik dan sehat bagi masyarakat. Dan bila memikirkan itu, kita para relawan dihadapkan pada sebuah jalan panjang yang tak berujung…..

Dan saya ingin bertanya kepada kawan sekalian… siapakah yang berkenan menemani saya untuk meniti jalan ini, agar perjalanan kerelawanan ini lebih semarak. Sebagai relawan pemberdaya, pemberdaya teknologi, pemberdaya informasi dan pemberdaya komunikasi.

Madiun, 30 Juni 2020
Yosep Rusfendi, Seorang gareng yang menyamar menjadi relawan.

2 thoughts on “Relawan : Sebuah Jalan Panjang Tak Berujung”

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *