Menerjemahkan Kegelisahan Desa

Bila kita mendengar membaca kata desa, yang ada dalam benak kita adalah suatu wilayah yang jauh dari hiruk pikuk kota yang bising, bebas polusi, asri, nyaman dan tenang. Dan masih dalam bayangan kita, desa masih menyimpan nilai-nilai luhur yang diwariskan oleh leluhur berupa prinsip kegotongroyongan, kekerabatan dan basis kebudayaan yang memuat nilai  kehormatan universal.

Kehidupan desa di tahun 80-an memang masih melekat predikat sebagai unit masyarakat yang lugu, terbuka dan memegang teguh metode kepemimpinan tunggal, yaitu lurah. Kerana anggapan keluguan inilah maka istilah “ndeso” adalah pemaknaan dari ketidaktahuan dan pemikiran yang masih apa adanya. Masyarakat desa pun masih bersifat terbuka, tidak mudah curiga kepada siapapun yang hadir mengunjungi mereka, tidak memilih dan cenderung menerima siapa saja yang datang. Lurah atau kepala desa pun masih menjadi sosok yang di hormati dan menjadi tauladan di lingkungan desa tersebut.

Desa Indonesia masa kini pun telah mengalami banyak perubahan. Perubahan karena faktor sosial, politik, ekonomi, budaya dan tehnologi yang memang telah mengikuti laju dinamika zaman yang semakin modern. Bila Alvin Tofler membagi  masyarakat menjadi tiga gelombang yakni gelombang masyarakat agraris, gelombang masyarakat industry dan gelombang masyarakat informasi. Yang terjadi di desa Indonesia bukan lah salah satu dari gelombang tersebut tetapi langsung masuk dalam hempasan tiga gelombang tersebut secara bersamaan.

Hal tersebut membuat kegamaangan tersendiri. Pondasi yang belum kuat merupakan alasan utama yang menjadikan masyarakat di desa mengalami aliensi dan kehilangan identitas diri. Masyarakat desa masih menggantungkan kehidupannya pada kasih sayang alam agrarisnya. Masih mengharapkan kemajuan industri untuk membantu roda ekonominya dan membutuhkan basis informasi sebagai panduan dalam melangkah. Pada kenyataanya  problem yang dimiliki oleh desa begitu kompleks. Sumberdaya yang tidak bisa dikelola dengan optimal, baik itu sumberdaya alam dan sumberdaya manusia, merupakan kunci  kegagalan desa membangun. Lahan yang terbengkalai, hasil bumi yang gagal, pengangguran yang tinggi telah menciptakan masyarakat yang lebih bersifat individual dibandingkan yang komunal.

Selain itu, hiruk pikuk politik juga telah mempengaruhi masyarakat desa untuk mengkotakan diri dalam garis-garis yang cukup jelas. Pendemokrasian masyarakat  yang tidak seimbang dengan  pendidikan politik yang cukup telah melupakan pada prinsip dasar demokrasi Indonesia itu sendiri yaitu Pancasila. Masyarakat desa (baca elit desa ) terlalu sibuk dengan isu politik nasional dan regional, pemilihan kepala daerah hingga pemilihan-pemilihan lainnya yang dianggap sebagai lambang demokratisasi. Isu politik seakan lebih penting dibanding isu pemberdayaan masyarakat  berbasis ekonomi, kebudayaan  dan pengetahuan. Masyarakat dibawa oleh elit desa kedalam ranah konflik yang seharusnya dihindari. Desa adalah daerah netral yang mengemban misi reformasi yaitu otonomi desa yang pengelolaan potensi desa yang optimal.

Kebijakan Lokal : Pondasi Awal Pembangunan Desa

Meminjam pendapat E.F. Schumacher dalam bukunya “Small is Beautiful”, pembangunan masyarakat bukan dimulai dengan barang tetapi dengan manusianya, melalui organisasi, pendidikan dan disiplin. Arus globalisasi telah menghanyutkan masyarakat kedalam euphoria digitalisasi yang secara tidak langsung telah membunuh ruang nyata manusia. Untuk masyarakat kita mulai kehilangan identitas asli, dan ternyata tidak mampu menemukan jati diri yang sebenarnya. Prinsip humanis yang selama ini telah mengantarkan masyarakat kita menjadi bangsa yang besar, ternyata telah berpaling ke prinsip neo kapitalis dan neo kolonialis. Liberalisasi ternyata tidak bisa menjawab kegelisahan masyarakat. Sehingga masyarakat baik kota maupun desa menjadi sebuah masyarakat yang pemarah. Ini bisa dilihat dengan angka kerusuhan dan kriminalitas yang tidak juga turun.

Bila ditelisik, masyarakat kita menjadi mudah marah karena sudah kehilangan identitasnya. Bahkan identitas yang adi luhung yang sebenarnya milik kita sudah banyak dicuri oleh orang lain yang sebenarnya tidak paham dengan identitas bangsa Indonesia yang mereka curi.  Nilai filosofi jawa, tokoh yang mengangkat kerifan lokal terwujud pada figure seorang lurah Semar. Dalam mitologi pewayangan tokoh Semar adalah tokoh yang “weruh sadurunge pinuruh”, tokoh yang menjadi tempat bertanya dan berkonsultasi bagi para dewa dan ksatria. Seorang lurah yang tidak tergiur kedudukan dan kekuasaan.

Semar sendiri sebenarnya adalah wujud lain dari Batara Ismaya, saudara kandung dari Sang Batara Guru, Manikmaya. Dia ditugasi oleh Shang Hyang Tunggal untuk mengasuh keturunan para dewa yang menjadi ksatria di tanah jawa. Semar adalah lambang kesederhanaan, dari wandanya pun tidak mengunakan dodot yang beraneka ragam, tidak seperti tokoh wayang lainnya. Dimana para tokoh lainnya mempunyai pusaka berupa panah, alugora, pedang dan keris. Semar cukup mempunyai ajian kentut semar yang bisa membiaskan penyamaran dewa sekalipun. Ini bisa dilihat dari lakon “gatotkaca winisuda”. Disaat batari durga akan menggagalkan usaha gatotkaca untuk mendapatkan haknya yang sudah dijanjikan para dewa  disaat dia masih kecil. Dia membuk
a penyamaran betari Durga dan menyadarkan para dewa bahwa hak Gatotkaca untuk diwisuda sebagai ksatri tidak bisa ditunda lagi.

Semar juga enjadi  tempat bertanya, Dalam lakon “Sudamala”, dia memberitahu batari Durga, cara untuk dapat kembali cantik menjadi dewi Uma, hanya dengan ruwat yang dilakukan oleh Sadewa. Makna yang terkandung dari pesan ini adalah Semar ingin memberitahukan bahwa  antara dewa dan manusia hamper tidak ada tingkat perbedaan yang mencolok. Manusia membutuhkan dewa, dan manusia menolong kehidupan para dewa. Inilah nilai yang sebenarnya diajarkan oleh para leluhur bangsa kita. Para lurah dan para perangkat di desa adalah tombak utama dalam pembangunan masyarakat. Tempat bertanya sebelum para elit kekuasaan akan menerapkan kebijakannya. Tokoh lokal lah yang paling memahami masalah yang ada dimasyarakatnya. Orang pertama yang akan ditanya oleh masyarakatnya atas kebijakan elit nasional yang membingungkan.

Ada banyak upaya yang dapat dilakukan oleh desa untuk membangun masyarakat diwilayahnya. Dengan cara menemukan kembali identitas yang akan memperkokoh pondasi untuk pijakan dalam memberdayakan masyarakat. Desa perlu berkontemplasi sehingga menemukan jati diri. Proses kontemplasi  dapat diibaratkan dengan diri manusia, dimulai dengan melalui pemahaman potensi diri. Desa perlu kembali melihat potensi yang ada dan menjadikan komoditi yang lebih bernilai.  Pengenalan potensi yang menyeluruh tentunya tidak hanya milik para pamong, tetapi juga seluruh masyarakat. Ibarat tubuh manusia, untuk dapat mengenali kondisi tubuhnya hanya tidak dapat dengan memeriksa setiap jengkal tubuhnya sendiri, terkadang masih memerlukan observasi dari orang lain yang lebih tahu/mengerti. Demikian juga dengan desa, perlunya pendampingan dari lembaga tertentu sebagai staf ahli dalam menyelami kondisi desa yang bisa menjadi komoditas unggulan. Lembaga pendampingan ini juga berfungsi untuk menterjemahkan arus komunikasi yang kadang terlalu vulgar untuk diterima, walau informasi yang ada cenderung parsial. Maka langkah berikutnya adalah membuat unit komunikasi basis lokal yang menjadi sarana penyebaran informasi yang bermanfaat  untuk lingkungan desa tersebut tanpa ditunggangi oleh tendensi  pihak tertentu. Untuk hal tersebut, perlu digali model komunikasi yang efektif dan tepat.

Pemecahan persoalan dan penyebaran informasi akan dilakukan tanpa menunggu lembaga-lembaga tingkat desa, karena masyarakat akan lebih berpartisipasi aktip merumuskan dan memecahkan masalah. Sumber daya manusia lokal sebagai asset desa akan mengelolakan dirinya sebagai unit yang mandiri. Masalah yang ada akan segera dijawab karena sudah diketahui sumber masalahnya. Mereka akan menjadikan lembaga-lembaga desa sebatas fasilitator yang memegang legalitas aktifitas masyarakat. Disini pulalah proses demokrasi sedang berlangsung. Jalur-jalur arus demokrasi akan melawati salurannya masing-masing, tanpa harus pamong atau elit desa mengatasnamakan masyarakatnya.

Pemerintahan desa juga perlu kembali menghidupkan budaya-budaya lokal tidak sebatas dalam pertunjukan saja. Tetapi juga termasuk dalam memberikan aktifitas sosial yang membangun  semangat menjaga tradisi sebagai identitas asli masyarakat. Identitas yang pembeda tetapi tidak membedakan. Pembeda dari unit masyarakat  lain tapi didalamnya tidak ada semangat membedakan tingkatan dan golongan.

Pemerintah desa juga menjadi sebuah organisasi belajar. Yang aktif mencari tahu bukan hanya diberitahu. Tentu saja sebagai sebuah organisasi yang menjunjung visi belajar, maka perlu kedisiplinan dan konsentrasi  untuk mencapai hasil yang optimal. Disini akan dilakukan proses pertukaran pengetahuan antar unsur yang ada.  Sehingga kita akan sadar bahwa model pembangunan masyarakat kita yang paling cocok adalah pembangunan yang dilandasi dengan kebijaksanaan lokal. Menumbuhakan sisi kemanusiaan dan berselaras dengan alam merupakan inti dari kebijaksanaan lokal. (Yosep Rospendi – diterbitkan di Tabloid BENAR edisi Juli 2008 dengan judul saatnya semar bicara)

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *